Jumat, 06 Juni 2014

Celebes pu Cerita (3) : Enrekang - Memulai Perjalanan

Celebes pu Cerita (3): Enrekang - New Friends New Adventure
H2 : Minggu, 11 Mei 2014
Cahaya matahari perlahan menyeruak menerangi langit Baraka pagi itu hingga Terlihat jelas bebukitan  mengelilingi seluruh penjuru Baraka. Aah, udara pegunungan yang sejuk dan damai. Sambil menunggu kedatangan kawan dari Palopo, kami sempatkan waktu untuk sejenak menikmati pagi yang cerah *dan semoga cerah untuk hari-hari berikutnya. Tak lama berselang, beberapa motor bersuara nyaring tiba memasuki halaman masjid tempat kami beristirahat. Gw, afit, dan diah berpandangan satu sama lain. muka-muka asing  beringasan yang nampak seperti satu kelompok geng motor mendekat. Gw amatin satu persatu wajah, dan tersenyum mendapati satu wajah yang nampak pernah kukenal,”wa…. Akhiirrrnyyaaa..” sambut gw sambil menjulurkan tangan. kakAnto namanya, pacar temen gw, yang sempat gw kenal 6 bulan yang lalu, yang dari dirinyalah kami mendapatkan koneksi kawan untuk menemani kami mendaki. Kamal, Awall, bocor/adhi, aidil, sere, rendi, dan yusar adalah 7 orang lainnya yang menemaninya berkendara selama  4 jam dari palopo. “looh, katanya cuman berenam?ini , satu, dua ,tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan??? Gila, banyak banget,maen kroyokan ya??’ kata gw kaget dengan keberadaan banyak laki-laki ini. kak Anto hanya tersenyum. Delapan orang kawanan lelaki yang akan menemani kami mendaki mencapai puncak Latimojong, dengan muka-muka yang nampak beringas (kesan awal), tua (masih kesan awal), dan menakutkan (hanya kesan awal). 
when something trouble.... (left) istirahat dulu ditengah jalan *teteup sambil tongsisan (right)
 
ciripa and k'Anto'

Setelah cukup beristirahat, kami pun mendiskusikan tentang rencana perjalanan. Awal dan Kamal yang sudah terbiasa mendaki, dan beberapa kali mendaki latimojong menjadi Team Leader  bagi perjalanan kami. Kebutuhan logistic kami penuhi di sini, dari Pasar Baraka, dengan budget sekitar 250.000 untuk persediaan makan selama 4 hari pendakian. Satu yang kemudian jadi pelajaran buat kami semua adalah tentang menghitung  kebutuhan logistik pendakian. Role no.2 Logika tanpa Logistik itu Omong Kosong. satu hal yang someday  gw harap bisa gw perbaiki dalam pendakian gw yang berikutnya (kapan ya bisa naek gunung lagi??hmmm). 
pasar baraka

Menyelesaikan kelengkapan kebutuhan logistik, kami melanjutkan perjalanan menuju basecamp pendakian, di Desa Karangan, Kecamatan Buntu Batu, Kab. Enrekang. Perjalanan yang awalnya membuat gw, dan diah tercengang, dan kemudian tak henti-hentinya tertawa terpingkal hingga habis air mata. Bagaimana tidak, dengan 5 motor 11 orang, yang itu berarti satu motor untuk bonti (bonceng tiga) kami harus berkendara melalui medan yang luarrrr biasa binasa. Waktu gw Tanya ke Awall (namanya Awaludin, dipanggil Awall), “kalian pernah motoran ke Karangan?”, dan mereka semua menggeleng. ini baru pertama kalinya pula mereka mencoba bermotoran menuju desa Karangan. Jalannya pun Awal ataupun Kamal tidak sepenuhnya ingat. Hal yang membuat kami sempat salah jalan hingga 10kilometer jauhnya. Memang akses menuju Desa Karangan, titik awal pendakian, memang masih sulit dijangkau. Pada umumnya, pendaki memilih hari pasar (hari senin dan kamis), untuk melakukan perjalanan dari Baraka menuju Karangan dengan menggunakan mobil atau hardtop yang membawa barang dagangan dari pasar Baraka, dengan biaya sekitar Rp.30.000 perkepala. Kendaraan tersebut pun hanya sampai di desa Rante Lemo, 5km sebelum Desa Karangan. Dari Rante Lemo baru dilanjutkan perjalanan kaki selama 2 – 3 jam an. Terkadang mobil hardtop yang digunakan hanya sampai di desa-desa  yang jauh sebelum Rante Lemo, tergantung keadaan cuaca dan medan yang memang masih berupa tanah berlumpur.  Hal inilah yang membuat Kamal, Awal dan teman2 palopo tertantang untuk membawa motor hingga desa Karangan. Gw, diah, dan afit hanya saling berpandangan, mau gak mau harus siyap dengan apapun yang terjadi. Gw, diah, dan kamal menjadi tiga orang yang berbonceng dalam satu motor, mengalah mengingat ukuran badan yang ‘masih kecil2’. Gw dan diah pun tak bisa menahan gelak tawa, lantaran sesekali harus terloncat dari dudukan motor yang terasa sempit. Tawa kami semakin menjadi ketika mengetahui afit dengan kerilnya yang besar nyaris terlempar dari motor ‘rangka’ Aidil, lantaran tarikan gas Aidil yang sekejap tiba-tiba dan kencang yang membuat afit terkaget. Motor yang mereka gunakan pun motor-motor yang sudah banyak dibongkar modif sana-sani, tak ada plat motor, tak berbodi, dan hanya bersisa rangka saja *oh, sungguh menakutkan.
jalan aspal menjadi permulaan perjalanan kami pagi itu. tapi hal itu tak berlangsung lama. dari jalan aspal, jalan berubah menjadi jalanan semen yang sempit. dari jalanan semen, berubah menjadi jalanan setapak yang berlumpur. mulai dari memasui wilayah desa latimojong, jalan aspal tipis yang sesekali mengisi jalan, itupun sudah mulai nampak rusak parah. cuaca yang mendung dan gerimis di tengah perjalanan membuat medan menjadi semakin menantang. jalan lumpur menjadi semakin licin dan sulit untuk ditembus. rendi, yang dikemudian hari kami panggil sbg "adek kecil / si kecil" karena masih kelas 2SMK, yang baru pertama kalinya ikut pendakian dan mengendarai motor hingga sejauh ini, berkali kali terjatuh dlam kubangn dan nyaris masuk jurang karena kurang lihai mengendarai motor. yang lainnya hanya bisa tertawa dan terbahak melihat kejadian malang yang menimpa adek kecil. hal serupa pun tak luput dari motor yañg lainnya, kandas di tengah lumpur, tak kuat naik tanjakan, dan  mogok di tengah jalan. dan kami pun kembali tertawa. sesekali mengabadikan hal-hal yang mungkin jarang terjadi dikehidupan kami sehari hari. gw, diah pun sering berteriak setiap kali kamal memanuverkan motornya untuk menghindari lubang, kubangan, dan hambatan di tengah jalan. "waa... .. stop, stop Mal... gw turun gw turun" teriak diah setiap motor hendak menaiki tanjakan licin. diah begitu takut untuk terjatuh dari motor yang sering kali oleng. gw cuman menahan perut tertawa. "tenang Di.. tenang.. lo harus percaya ama Kamal" kata gw yang memilih untuk bertahan di atas motor. dan ternyata benar, motor tak kuat untuk sampai di atas tanjakan dan kami pun harus berkali kali turun dri motor dan berjalan hingga jalan dirasa sudah cukup bagus untuk dikendarai secara bonti.
 mendekati desa angin-angin hingga rante lemo, jalan menjadi semakin parah dan kami para pembonceng, menjadi lebih sering berjalan kaki ketimbang berada di atas kendaraan. "kalo itu namanya jalur merah. lebih pendek tapi medannya lebih seram karena tanah merah,apa lagi hujan begini lebih licin"kata Awall sambil menunjuk pada jalanan berkelok naik turun bukit yang nampak jelas seperti garis merah di atas desa angin-angin. gw cuman mengangguk. jalan yang begini aja udah jatuh bangun apalagi jalur merah. gw,Diah, Awall,Yusar kembali berjalan menyusuri turunan yang becek, saat Kamal, Bocor, dan Adek kecil tengah sibuk bergumal dg motor2 masing2 padalumpur lumpur yang mengkandaskan motor mereka.  di tengah jalanan yang padat lumpur kami berpapasan dengan tiga buah motor dari aarah berlawanan yang juga tengah baku dorong untuk mengeluarkan motor yang tertanam dalam di lumpur.
Sekitar pukul 14.15 siang kami tiba di Rantelemo. Sedikit menghela nafas setelah hampir 4 jam berkendara. Mengisi bensin pada tangki tangki motor yang mulai kering, sekaligus membasahi kerongkongan yang kering karena dahaga. Aliran sungai terdengar deras mengalir diseberang dekat tempat kami beristirahat. “waaa.. ada sungai ya!! wuiii, airnya jerniih..”kata gw begitu mengagumi aliran air disela-sela banyak bebatuan besar. udara di RanteLemo terasa lebih sejuk dibanding di Baraka. Mungkin karena kami posisi Rantelemo yang lebih tinggi dbanding Baraka kali ya, pun jarang ada kendaraan yang melintas. Gw hirup udara dalam,dalam,tempat ini benar-benar kaya. Sepanjang perjalanan dari Baraka, berbagai macam perkebunan kami jumpai di kanan kiri jalan. Kebun dari beraneka ragam sayur, cabai, tomat,bebawangan, tanaman-tanaman hias, kebun kopi, kebun coklat, dan berkali-kali menemukan banyak pohon durian!!! (*sukadurian). 
left : rantelemo. right : waktu dah masuk dusun karangan
dari Rantelemo, kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di Desa Karangan, Kec Buntu Batu,kab.Enrekang. medan yang ditempuh tidaklah sesulit dari yang sebelumnya, karena jalan lebih didominasi dengan bebatuan. Namun tetap saja, bagi kami yang bonti (bonceng tiga), gw, diah, kamal, dengan motor Suzuki kamal yang sudah ‘cukup berumur’, kami selalu gagal untuk mencapai tanjakan. Ditambah lagi tanjakan tanjakan dari Rante lemo menuju Baraka lumayan curam dan sempit. “aaah.. stop… stop… gw turun dulu” teriak diah setengah ketakutan, ketika motor Kamal gagal menaiki tanjakan, dan malah berhenti di jalan dan berjalan mundur. Diah dan gw pun kembali berjalan kaki. “hooosh…. Hosssh…lumayan juga…”kata gw sambil terengah. Motor-motor yang lain sudah berlalu di depan meninggalkan kami. diah yang berjalan di belakang gw juga nampak kelelahan.”ayo Di.. semangat!! pemanasan sebelum pendakian niiih” kata gw ke diah yang hanya disambut senyum oleh nya.”iyah… wa, parah nie gw dah lama gak gerak. Udah ngos-ngosan” kata diah sembari menghentikan langkah, menghela nafas karena lelah. Gak bisa gw bayangin gimana para pendaki-pendaki latimojong yang memulai langkah kakinya dari rantelemo  “maaak.. jauh amat ye…. 5 km cuy rantelemo-karangan, hmmm…”
 
Tepat pukul 15.30 wita, kami tiba di desa Karangan. Kami pun langsung singgah di rumah bapak kepala desa Karangan, yang sekaligus menjadi basecamp kami untuk beristirahat malam itu. Kebetulan bapak kepala desa pak Sinu tengah turun kota, beruntung kami sempat berpapasan di tengah jalan menuju karangan, sehingga kami sempat meminta ijin untuk tinggal di rumahnya. Sore hari, gw dan diah, berkeliling kampung mencari bahan makanan tambahan untuk pendakian sekaligus untuk menu makan malam dan sarapan esok paginya. Satu yang sempat kami lupa sebelumnya adalah berbelanja bama-bama segar seperti sayur sewaktu di Baraka ataupun di Rantelemo, sehingga terpaksa kami harus mencari-cari di desa Karangan. Sebenarnya desa Karangan hanyalah sebuah desa kecil disebuah lembah yang dikeliling bukit-bukit di keempat penjurunya, yang hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Hampir sebagian besar bangunan rumahnya berupa rumah panggung yang terbuat dari papan, dengan lantai rumah yang minimal berada diketinggian 3meter di atas tanah. Unik… kata diah,”gw perhatiin semua rumah di sini gak ada yang nempel di tanah ya… emang kenapa ya??”kata diah bertanya-tanya. Gw sendiri,gak ngerti jawabannya. 
at basecamp, rumah pak dusun ds.Karangan
Masyarakat desa Karangan sebenarnya adalah masyarakat yang ramah, hanya saja mungkin bukan hal yang lumrah untuk saling menyapa dengan orang asing. Beda dengan di tempat gw,diPapua, meskipun orang asing, ketika bertemu, mereka pasti saling sapa dan berbagi senyum. Di desa Karangan, mereka masih nampak ‘waspada’ terhadap pendatang. Tapi gw suka dengan anak-anak di desa Karangan, anak-anak yang nampak ‘amaze’ dengan keberadaan kami berdua (apa yang salah dari kostum kami ya??haha). anak-anak yang dengan baik hatinya mau membantu gw dan diah selama kami di Karangan.“Di, kita cari telur yuk buat makan malam”kata gw ke diah dan langsung disetujui diah. Gak banyak warung kelontong di Karangan. Ada pun, yang dijual juga seadanya. Sehingga sangat disarankan untuk benar-benar menyiapkan logistik sedari berada di Baraka. “adek, di sini toko kelontong yang jual telur dimana ya?’tanya gw pada segerombolan anak kecil yang sedang bermain di tengah lapangan badminton.”di sana.. dirumahnya…”tunjuk seorang anak kecil pada satu arah. Gw dan diah beradu pandang. Disana dimana? Semua rumah nampak sama.”dimana ya?’tanya gw kebingungan.”bisa antar?’pinta gw pada salah seorang, yang langsung dijawab dengan anggukan. Anak itu, beserta teman-teman lainnya langsung mengantarkan kami ke tempat yang dimaksud.sayang,setiba ditempat yang dituju, kami tak menemukan telur ayam yang kami maksud. “ada tempat lain gak adek yang jual telur?”Tanya gw lagi, dan kembali mereka mengantarkan kami ke penjual kelontong lainnya. Kali ini, kami mendapatkan telur yang kami maksud. Gw pun langsung bergumam,”enaknya dikocok pake bawang ama daun bawang gak sih Di?’tanya gw ke diah. Gw dan diah pun berpikir, berdiskusi. Kembali menanyakan pada anak-anak kecil yang masih mengerubungi kami dimana ada yang jual bawang, daun bawang, dan sayur-sayuran segar. Namun anak-anak hanya menggeleng, di sana tak ada yang menjual sayuran segar. “ada kakak…. Tapi di kebun, biasa kami ambil sayur di kebun..” kata seorang anak. wajar juga kalo gak ad yang jual sayur, wong semuanya pekebun, kalo mo makan sayur ya tinggal cabut dari kebun masing-masing. “ah, sayang ya… gak ada daun bawanng..” gumam gw pada diah. Masih berpikir tentang menu untuk malam itu. Tiba-tiba seorang anak muncul dari kejauhan membawakan kami segenggam besar daun bawang.”kakak… ini ada daun bawang, saya ambil dari rumah buat kakak”kata seorang anak itu. Gw tersenyum ceraaah, girang,”wa… banyak sekali.. buat kakak boleh kaaah??makasih sekali ya sayangg”gw dan diah cuman tersenyum, anak-anak yang baik. Senang mendapatkan daun bawang, gw berharap untuk mendapatkan sayur apapun itu, sebagai pelengkapnya. “Adek kalo di sini biasanya makannya apa?”Tanya gw penasaran dengan sayur yang biasa mereka konsumsi sehari-hari, berharap siapa tau ada yang mo dengan baik hatinya lagi ngasih kita sayur. “buncis kakak… “jawab seseorang, yang lainnya ikut sahut menyahut menyebut nama sayur sayur yang mereka biasa makan, tapi tak satupun yang gw kenal, selain buncis yang mereka sebutkan. Banyak juga yang mengatakan bahwa sayuran adanya di kebun, jauh dari rumah. “Di.. gimana?mau gak makan buncis?” diah menggeleng. “hm… apa ya kalo gitu…” gw perhatiin tanaman-tanaman yang tumbuh disekitar situ. Banyak sekali tanaman yang tumbuh tapi diperhatikan hanyalah tanaman  hias, ada sayur pun sayur tomat dan cabe. “kami biasa makan ini kakak..”kata seseornag lagi sambil menunjuk rimbunan daun bayam. Muka gw pun seketika berubah makin cerah,”wa…. Bayaaam…. Punya siapa kaaah??’tanya gw berharap bisa dapet beberapa lembar daun bayam. “punya saya kakak..”kata seorang lagi. “kitong boleh minta kaah??’ pinta gw. dan dirinya pun tersenyum mengangguk. Dicabutnya beberapa daun bayam, dan teman-teman lainnya pun ikut serta membantu mencabutkan daun bayam untuk kami berdua, dan dalam sekejap, kantong plastic tempat telur kami dipenuhi oleh banyaknya daun bayam. Gw dan diah pun langsung berterima kasih dengan kebaikan hati anak-anak ini. suka lihat senyum mereka, suka lihat tawa mereka, sederhana, tapi bikin hati bahagia. 
nyari sayur

“anak-anak itu layaknya ulat dalam kepompong yang suatu ketika akan menjadi kupu-kupu yang terbang cantik mewarnai dunia. Anak-anak itu mungkin hanya seperti secarik kertas putih yang polos, beri krayon warna-warni dan dia bisa menjadi satu lukisan yang menceritakan indahnya dunia” –dee,2014
Malam itu, menu nasi hangat, telur kocok, dan sayur bayam menjadi menu pertama kami, di Desa Karangan. Menu yang sederhana, namun penuh rasa. (250514.20.37)
 
 

Tidak ada komentar: